Inspirasi Penulis Indonesia

Inspirasi Penulis Indonesia

Mumpung ngantuknya udah hilang, habis Subuhan enaknya nulis yang rada ‘serius’ (?)

Dulu saya malas baca buku atau novel yang made in Indonesia. Saya lebih suka baca novel dari penulis luar; itupun saya suka yang versi aslinya alias tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku berbahasa Indonesia yang saya beli, paling-paling hanya komik dan majalah saja. Agak beda untuk komik, justru menurut saya lebih lucu versi bahasa Indonesianya. Pernah baca Tintin? Perhatiin deh… Tintin versi Indonesia (yang masih terbitan Indira) lebih lucu daripada versi aslinya. Mana ada dalam versi aslinya, sumpah serapah Kapten Haddock macam “seribu topan badai!”, “babon bulukan!”, “setan laut!” 🙂

Anyway, preferensi saya terhadap buku dan novel Indonesia mulai berubah sejak terbit novel Laskar Pelangi dan sekuel-sekuelnya. Dilanjutkan dengan mulai banyaknya buku mengenai perjalanan, salah satunya seri Naked Traveler.

Saya suka tulisan mengenai perjalanan, karena dari situ saya bisa dapat informasi  tentang banyak negara di dunia langsung dari si pelaku dan dari sudut pandang orang Indonesia. Mulai dari tulisan perjalanan yang super ringan (baca: buku-buku serinya jalan-jalan hemat), tulisan lucu ala Naked Traveller, sampai ke tulisan-tulisan yang lebih serius (yang mungkin lebih cocok dimasukkan dalam kategori fiksi atau seri pengembangan diri…… ?).

Salut buat para penulis buku, yang menurut saya patut dijadikan sumber inspirasi. Tidak hanya karena tulisannya yang berbobot dan inspiratif, tapi juga bikin hati senang setelah baca bukunya!

Beberapa di antaranya:

Andrea Hirata. Tidak perlu dijelasin lagi siapa dia. Saya perlu berterima kasih khusus, karena berkat novel Laskar Pelanginya, saya jadi suka lagi dengan buku-buku dan novel berbahasa Indonesia.

Ahmad Fuadi. Penulis novel Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna. Alumnus Gontor dan bekas wartawan Tempo dan VoA. Orang ini hebat banget prestasinya, antara lain penerima beasiswa Fullbright dan British Chevening. Saat membaca Negeri 5 Menara, sempat terpikir untuk memasukkan Marcel ke Gontor (yang langsung ditolak keras oleh Ayahnya, karena gak mau pisah jauh… Hehe… Emaknya juga gak mau pisah, ding..  ).

Habiburrahman El Shirazy. Penulis novel Ayat-Ayat Cinta dan novel-novel lainnya… maaf tidak hafal, karena yang paling suka hanya novel Ayat-Ayat Cinta saja.

Muhammad Assad. Penulis buku Notes from Qatar. Usianya mungkin masih 23 tahun, tapi pengetahuan tentang agama dan buah pikirannya luar biasa.  Ganteng dan (kayaknya masih single). Could be Indonesia future leader! Moga-moga kalau nanti jadi pemimpin, idealismenya tetap seperti sekarang….

Trinity. Yang suka buku-buku travelling pasti tidak asing dengan nama ini. Boleh dibilang, doi adalah pioneer penulisan buku- buku travelling di Indonesia (hmmm, bener gak ya?). Tulisannya berdasarkan pengalaman pribadi: lucu dan lugas. Gara-gara buku Trinity, saya jadi tahu ada negara pulau bernama Palau yang manusianya gigantic dan kehidupannya komikal banget.

Amelia Masniari alias Miss Jinjing. Penulis seri Belanja Sampai Mati, Rumpi Sampai Pagi, Pantang Mati Gaya dan beberapa buku lainnya. Gaya penulisannya perempuan banget dan lumayan kocak buat tahu potret gaya hidup ibu-ibu the haves Indonesia. Eh, ternyata si Miss Jinjing dan Trinity itu ada hubungan keluarga lho… *penting, gak?*

Claudia Kaunang. Penulis buku seri jalan-jalan hemat. Yang menarik adalah idenya. Dulu siapa terpikir kalau buku berisi tips jalan-jalan bisa laris di pasaran? Dan kalau gak salah, sejak jadi penulis laris, dia pun sekarang mulai bikin tur jalan-jalan ala backpacking. Well, menarik kan… peluang bisnis muncul dari buku.

Agustinus Wibowo. Petualang yang juga penulis. Bukunya: Selimut Debu dan Garis Batas, wajib dibaca oleh penggemar travel writing sejati. Dari mana bisa tahu kehidupan di Afganistan kalau gak baca buku ini (dan buku Kite Runner.. tapi itu kan novel terjemahan!). Mengutip komentar yang bersangkutan dalam blog-nya http://avgustin.net/blog/ :  “…destinasi itu bukan segala-galanya. Perjalanan pada hakikatnya bukan lagi mencari eksotisme, tetapi proses untuk belajar, dan kita sebenarnya bisa belajar di mana saja. It’s not about the destination, it’s about the journey. Jadi destinasi mana pun adalah istimewa, bahkan kampung halaman sendiri yang sudah begitu Anda kenal”. Nah…

Sekarang, kalau dilihat-lihat koleksi buku dan novel saya mulai berimbang antara yang asli Indonesia dengan buku dan novel impor. Untuk itu, rasanya saya perlu berterima kasih kepada penulis-penulis di atas, karena sudah berhasil membuat saya kembali membeli buku-buku buatan penulis Indonesia!

Btw, adakah penulis-penulis generasi baru Indonesia lain yang layak untuk diapresiasi lagi?